“ TANAK AWU DALAM KAJIAN KEKUASAAN, KONFLIK, DAN DEMOKRASI “

Linayati Lestari

Dosen Tetap Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UNRIKA Batam

ABSTRACT

Democracy is a respect for human values human creativity without democracy is not possible to obtain and develop, historically the nation’s struggle against colonialism Indonesia is part of the struggle for democracy. Later, national leaders also consider that democracy is the main purpose of the anti-colonial struggle. The basic principle of a democracy is that democracy is associated with interactions among humans and the association are to understand each other or know, that principle in accordance with the character of man as homo-social.

Indonesia is categorized as a background in an agrarian country, but in reality farmers in Indonesia will remain isolated from soil, water, and products derived from agrarian sources due to privatization, commercialization and liberalization of agrarian resources by the state primarily through the Law Act No. 7/ 1996 on food, Act No. 7/ 2004 on Water Resources Management, Law No. 24/ 2004 on Stipulation of Government Regulation in Lieu of Law Number 1/ 2004 on Amendment of Law Number 41/ 1999 on Forestry became law, Law No. 18/ 2004 on Plantations, Presidential Decree Number 36/ 2005 regarding the liberalization of agricultural policies and various others, such as rice import policy. In essence, the State violated the right of access to sources of agrarian (acces to agrarian resources) people of Indonesia in general and farmers’ rights in particular.

It does not only affect the decline of the farmers, but the emergence of food insecurity situation and every peasant unrest and the struggle of the peasants defend their rights from the spoils of the capital and the State answered with the repressive apparatus of armed violence the government of Indonesia. On the island of Lombok West Nusa Tenggara province, in which appears the case of an outbreak of malnutrition (malnutrition) and malnutrition (hunger) and the average farmer is poor, the peasants returned to victims of human rights violations by force (by violence) by state apparatus (police). On the other hand, cases Tanak Awu is not the completion of the portrait of agrarian conflict in the past and are not immediately restored the rights of victims (farmers are deprived of their rights), even violence and peasant land seizures continue.

Keywords: Democracy, Agrarian Conflict

 

PENDAHULUAN

Sengket pembebasan tanah untuk dijadikan bandara di daerah Lombok tepatnya di Tanak Awu Kabupaten Lombok Tengah merupakan sengketa “warisan” dari zaman orde baru yang sangat sentralistis akan kebijakan  yang dibuat khususnya dalam bidang agraria. Perkembangan konflik ini berawal ketika  adanya oknum “mafia” pembebasan tanah yang berasal dari pusat dan daerah yang seakan-akan membodohi petani dalam hal pembayaran lahan/pembebasan lahan sehingga pembayaran lahan yang seharusnya dapat diterima penuh oleh pihak petani kemudian berkurang, artinya dana pembayaran tersebut hanya dapat diterima oleh para pemilik lahan hanya seperempatnya saja, maka dari itu banyak dari para petani kemudian merasa bahwa mereka telah dirugikan banyak dengan proses pembayaran yang dilakukan oleh pihak pusat kepada mereka atau dengan kata lain bahwa pemilik lahan ditindas dengan mekanisme pembayaran.

Dalam perspektif Gramscian, konsep organisasi gerakan sosial dikategorikan sebagai masyarakat sipil terorganisir. Konsep tersebut didasarkan pada analisis tentang kepentingan konfliktual dan dealektika atau kesatuan dalam keberbedaan antara Negara (State) dengan Masyarakat Sipil (Civil Society). Masyarakat sipil terdiri dari berbagai bentuk masyarakat voluntir dan merupakan dunia politik utama, dimana semuanya berada dalam aktivitas ideologi dan intektual yang dinamis maupun konstruksi hegemoni. Masyarakat sipil merupakan konteks dimana seseorang menjadi sadar dan seseorang pertama kali ikut serta dalam aksi politik. Dengan demikian, masyarakat sipil adalah suatu agregasi atau percampuran kepentingan, dimana kepentingan sempit ditransformasikan menjadi pandangan yang lebih universal sebagai ideologi dan dipakai atau diubah.

Dalam konteks ini, bagi Gramsci masyarakat sipil adalah dunia dimana rakyat membuat perubahan dan menciptakan sejarah (Mansour Fakih, 2004). Gerakan sosial akan selalu hadir ketika terjadi kesepahaman bersama tentang kesenjangan dalam realitas sosial yang cenderung memiliki akibat luas di masyarakat. Para editor the Blackwell Companion to social Movements (Snow, Soule dan Kriesi 2004b: 11) mendefinisikan gerakan sosial, dengan cara yang tidak begitu anggun tetapi komprehensif, sebagai :

“…kolektivitas-kolektivitas yang dengan organisasi dan kontinuitas tertentu bertindak diluar saluran-saluran institusional atau organisasional dengan tujuan menguggat atau mempertahankan otoritas, entah yang didasarkan secara institutional atau kultural, dan berlaku dalam kelompok, organisasi, masyarakat, kebudayaan atau tatanan dunia, dimana mereka merupakan salah satu bagiannya.”

 

Konseptualisasi ini melibatkan lima  poros, dan setiap gerakan harusmenunjukkan sedikitnya tiga poros agar bisa dianggap sebagai gerakan sosial. Kelima poros itu adalah :

  1. Tindakan kolektif atau gabungan;
  2. Tujuan-tujuan atau klaim-klaim yang berorientasi pada perubahan;
  3. Suatu tindakan kolektif yang bersifat ekstra-institusionl atau non institutional;
  4. Organisasi sampai tingkat tertentu;
  5. Keberlanjutan dalam hal waktu sampai tingkat tertentu

Gerakan sosial pada kenyataannya tidak timbul dengan serta merta, tetapi ada penyebab kelahirannya. Bicara tentang kelahiran gerakan sosial ada beberapa pendekatan, seperti: pendekatan klasik, resource mobilization model, dan contentious politics. Dalam membahas kasus Tanak Awu ini kita akan menggunakan model yang ketiga, yaitu contentious politics yang lebih banyak membahas proses dan dinamika pergulatan di antara berbagai kepentingan politik yang ada di kasus Tanak Awu ini. Pendekatan ini tidak berpretensi pada menghasilkan sebuah ending, tetapi merekam secara kmprehensif pergulatan kepentingan antar agensi dalam arena kasus tersebut.

Pada kenyataannya kasus Tanak Awu yang sampai mencuat menjadi kasus nasional, melibatkan banyak pihak dalam merespon gerakan sosial warga  Desa Tanak Awu Kabupaten Lombok Tengah dan para pendamping semisal NGO-nya. Pihak-pihak yang terlibat tidak hanya warga  Tanak Awu dan Pemerintah, banyak pihak yang kemudian terlibat, karena dimungkinkan kewajiban dan tuntutan peran pihak-pihak tersebut atau kepentingan lainnya. Tulisan ini akan membahas tentang proses hubungan antar kepentingan politik yang membuat kasus sengketa Tanak Awu ini menjadi besar. Seperti apakah dinamika pergelutan kepentingan Politik di antara pihak-pihak yang bertikai dan bagaimana mereka memperjuangkan kepentingan mereka?.

PEMBAHASAN

Setiap tahunnya di bulan September, organisasi-organisasi massa petani, gerakan mahasiswa, dan berbagai organisasi masyarakat sipil di Indonesia, termasuk juga Federasi Serikat Tani Indonesia (FSPI) beserta anggota-anggotanya yakni serikat-serikat tani di tiap wilayah provinsi selalau mengadakan peringatan Hari Tani Nasional pada 24 September. Serikat-serikat tani yang berhimpun di FSPI adalah Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh (PERMATA), Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU), Serikat Petani Sumatera Barat (SPSB), Persatuan Petani Jambi (PERTAJAM), Serikat Petani Sumatera Selatan (SPSS), Serikat Petani Lampung (SPL), Serikat Petani Banten (SP-Banten), Serikat Petani Pasundan (SPP), Serikat Petani Jawa Barat (SPJB), Serikat Petani Jawa Tengah (SPJT), Serikat Petani Jawa Timur (SPJATIM), Federasi Serikat Tani Jawa Timur (FPJatim), dan Serikat Tani Nusa Tenggara Barat (SERTA-NTB).

Adapun kegiatan Hari Tani Nasional 24 September 2005 direkomendasikan oleh rapat pleno FSPI di Lampung pada bulan Maret 2005, dan memutuskan yang berlaku sebagai tuan rumah kegiatan Hari Tani Nasional 2005 adalah Serikat Petani Nusa Tenggara Barat (SERTA-NTB). Secara umum tujuan dari peringatan Hari Tani adalah mendalami aspek pembarian agraria dan tukar pengalaman dari berbagai petani di daerah lain ataupun petani yang berasal dari negara lain guna mewujudkan pertanian berkelanjutan di Indonesia menuju masyarakat petani yang adil dan sejahtera.

Rangkaian kegiatan Hari Tani Nasional Ke-45 ini meliputi: Workshop Pertanian Berkelanjutan, Perdagangan dan Pangan di Bali; Diskusi penelitian pedesaan dari LRAN (Land Research Action Network) serta Simposium Pengalaman dari Negara Lain Tentang Pembaruan Agraria di Kotamadya Mataram NTB; Rapat Umum Petani di Desa Tanak Awu Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah NTB; dan Kunjungan lapangan di Sembalun Lombok Timur dan Kute Lombok Tengah.

 

  1. A.         Kronologis Pembubaran Rapat Umum Petani di Tanak Awu

Pembubaran Rapat Umum Petani  Oleh Aparat Kepolisian Dengan Cara-cara Kekerasan yang Mengakibatkan Jatuh Korban, di Tanak Awu, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat :

  • Rapat umum yang diadakan Serikat Tani NTB (Serta NTB) dan Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) di Tanak Awu dibubarkan aparat kepolisian dari POLDA NTB dan POLRES Lombok Tengah secara paksa, Minggu (18/9). Dalam peristiwa tersebut 33 orang terluka (27 terkena tembakan, 6 orang terkena pukulan) akibat kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Korban dilarikan ke puskesmas dan rumah sakit terdekat.
  • Kejadian berawal, ketika masyarakat Tanak Awu tengah menghadiri Rapat Umum. Rapat tersebut digelar di lahan yang menjadi sengketa karena akan digusur untuk pembangunan Bandara Internasional. Warga masyarakat yang terdiri dari para petani Tanak Awu, Mawun, Grupuk, Penunjak, Rebile, Batujai, Sumbawa, dan Sembalun menunggu kedatangan tamu mereka dari FSPI, La Via Campesina, Land Research Action Network (LRAN), FIAN (Lembaga Hak Atas Pangan dan Hak-Hak Asasi Manusia), LSM, Mahasiswa, dan Masyarakat Adat dipaksa membubarkan diri oleh pasukan kepolisian dari Polres Lombok Tengah dan Polda NTB.
  • Beberapa saat kemudian 3 truk dari satuan kepolisian mendatangi lokasi. Polisi meminta masyarakat membubarkan acara yang akan digelar. Alasannya, ijin yang sebelumnya diberikan MABES POLRI  kepada FSPI  telah dicabut beberapa jam sebelumnya (Sabtu, 17 September pukul 23.00). Massa menolak karena pencabutan ijin dilakukan secara sepihak dan terburu-buru (hanya beberapa jam sebelum acara), padahal para petani sudah mempersiapkan acara jauh-jauh hari. (Ijin untuk mengadakan acara sudah diberikan MABES POLRI kepada FSPI selaku penyelenggara pada tertanggal 12 September 2005 bernomor No.Pol.: SI/ANMIN/785/IX/2005/BAINTELKAM).
  • Warga menolak pembubaran yang diperintahkan kepolisian. Namun pihak kepolisian tetap memaksa warga untuk membubarkan diri. Alasannya, karena pihak Mabes Polri yang sebelumnya memberikan ijin terhadap acara tersebut, menyatakan mencabut ijin secara sepihak.
  • Warga menilai alasan tersebut mengada-ada, karena pencabutan ijin baru dilakukan beberapa jam sebelum acara dimulai, tepatnya pada pukul 21.00 WITA. Padahal pihak panitia, yaitu FSPI dan Serta NTB sudah mempersiapkan acara tersebut beberapa bulan sebelumnya. Bahkan Mabes Polri sudah memberikan ijin tertanggal 12 September 2005. Tetapi di kemudian hari aparat kepolisian meningkari janjinya dan memaksa untuk membubarkan rapat umum dengan cara kekerasan. Akibat dari kejadian tersebut, pihak masyarakat menjadi korban dan melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
  • Pihak kepolisian tetap mendesak untuk membubarkan acara. Kapolres Lombok Tengah sempat bernegoisasi dengan Herman (salah seorang warga). Dalam negosiasi itu, Herman minta waktu kepada pihak kepolisian untuk menunggu rekan-rekan peserta lainnya yang telah berkumpul di Mataram. Kapolres memberikan waktu 20 menit terhadap permintaan warga.
  • Setelah 20 menit berlalu, Kapolres menambah pasukannya dan memberikan aba-aba kepada pasukannya untuk segera membubarkan diri. Sepuluh menit kemudian, datang pasukan lebih banyak lagi disertai satu buah Panser dan dua mobil pemadam kebakaran. Jumlah aparat polisi sekitar 700 orang, terdiri dari pasukan Brimob, Dalmas, dan Huru-hara.
  • Setelah mendapatkan bantuan pasukan, aparat merangsek ke kerumunan massa dan melakukan beberapakali tembakan peringatan. Massa tetap bertahan di lokasi dan tidak mau membubarkan diri. Tidak cukup dengan tembakan peringatan, polisi menembak ke arah kerumunan massa (dari fakta-fakta yang diperoleh tim Serikat Petani NTB, ditemukan puluhan selongsong peluru yang terdiri dari peluru karet maupun peluru tajam dan selongsong gas air mata). Aparat kepolisian semakin agresif, tenda-tenda dan panggung yang didirikan warga dirobohkan. Massa mengadakan perlawanan lagi, melempari polisi dengan tanah dan batu.

Related Post