Yarsi Efendi, S.Si,
Direktur Lembaga Penelitian dan Studi Lingkungan Hidup, Dosen Ekologi dan Pengetahuan Lingkungan FKIP Biologi dan Pembina Himapala Universitas Riau Kepulauan Batam
Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dianugerahi Sumber Daya Alam (SDA) pesisir yang luar biasa. Sebagai daerah Kepulauan, Kepri berpotensi sebagai daerah penghasil biota laut terkemuka di Nusantara. Potensi pesisir ini dapat dikembangkan karena salah satunya adalah wilayah pesisir Kepri didominasi ekosistem mangrove. Yang merupakan habitat alami beberapa jenis biota laut, seperti ikan, kepiting, udang, dan lain-lain. Keunggulan ini mestinya juga dimiliki oleh wilayah pesisir Batam. Namun akibat desakan pembangunan, berimplikasi terhadap tingginya alih fungsi lahan untuk kepentingan pembangunan. Termasuk di wilayah pesisir Batam. Dimana kawasan yang dahulunya didominasi tegakan vegetasi mangrove dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, saat ini sudah mengalami penurunan kualitas dan kuantitas yang luar biasa.
Kerusakan ekosistem mangrove harus dapat dicermati dan diperhatikan secara mendalam. Karena terjadinya kerusakan itu selalu diikuti dengan permasalahan lingkungan, diantaranya terjadinya abrasi pantai, banjir, sedimentasi, menurunnya produktivitas perikanan, sampai terjadinya kehilangan beberapa pulau kecil. Dan bahaya yang kini semakin mengancam Batam adalah intrusi air laut (salinitas tinggi) ke daratan. Karena dengan kerusakan ekosistem mangrove berarti hilangnya bufferzone (daerah penyangga) yang berfungsi untuk menjaga kestabilan ekosistem pesisir, pantai dan daratan. Termasuk menyangga air asin untuk tidak meresap dan masuk ke daratan. Dapat dibayangkan jika ini terjadi, tentunya akan mengancam ketersediaan air bersih.
Kecemasan ini adalah sesuatu yang rasional, mengingat semakin banyak areal mangrove yang sudah hilang dari pesisir Batam. Dan mangrove yang tersisapun juga semakin tipis. Dengan tingkat kerapatan yang rendah, karena semakin tingginya tingkat eksploitasi kayu bakau untuk industri arang.
Dari beberapa kali studi ekologi mangrove yang sudah dilakukan Lembaga Penelitian dan Studi Lingkungan Hidup Unrika Batam, secara umum dapat digambarkan bahwa tingkat kerusakan ekosistem mangrove di Batam berada pada tingkatan ‘rusak’. Dan pada beberapa lokasi dapat dikatakana rusak parah sesuai acuan penentuan tingkat kerusakan mangrove yang tertuang dalam SK MLH nomor 201/2004 tentang kriteria baku dengan pedoman penentuan kerusakan mangrove.
Kondisi ini harus mendapat perhatian, karena mengingat fungsi penting dari ekosistem ini. Jika berkaca dari pengalaman, kestabilan ekosistem pesisir, pantai, dan daratan merupakan hal yang jarang diperhatikan oleh hampir semua stakeholder. Sehingga kerusakan ini dianggap suatu hal yang wajar. Banyak stakeholder yang cenderung enggan untuk memperbaiki dan merehabilitasiekosistem mangrove yang dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Dapat diasumsikan, laju degradasi ekosistem mangrove di Batam jauh lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi pembangunan di kawasan pesisir Batam yang besar. Sehingga terjadi alih fungsi lahan mangrove untuk kepentingan pembangunan secara besar-besaran. Fakta di lapangan dapat dilihat, sepanjang pesisir Batam yang dulunya di dominasi oleh vegetasi mangrove, kini telah berganti dengan beton bertulang dari bangunan industri shipyard, pariwisata, pemukiman dan kawasan komersil lainnya.
Jika mengacu kepada Keputusan Menhut Nomor 47/kpts-II/1987, 24 Februari 1987, tentang kawasan hutan lindung di Batam, dimana untuk hutan lindung pantai (mangrove) ditetapkan seluas 4.854 hektar. Yang berarti 1.25 % dari total keseluruhan daratan Batam. sesuai RTRW 2004 – 2014 yaitu 390.000 ha. Sesungguhnya angka 1.25% tersebut sangat sedikit dan tidak berimbang secara ekologis antara luas mangrove yang ditetapkan sebagai kawasan penyangga daratan (kawasan lindung) dengan luas daratan yang di proteksinya. Namun kita juga mesti menyadari bahwa pemerintah mengambil ketetapan tersebut tentu juga dengan pertimbangan yang matang. Mengingat pada saat itu Batam sudah mulai dikembangkan untuk industri dan perdagangan. Dan salah satu industri unggulannya adalah industri alih kapal yang di dirikan di kawasan pesisir. Perkembangan industri alih kapal di Batam mengalami kemajuan yang sangat pesat. Apalagi setelah beberapa perusahaan galangan kapal di Singapura pada 2005 merelokasi usaha mereka ke Batam. Puluhan perusahaan galangan kapal diusir dari Singapura karena melakukan pencemaran, pada 2005. Sampai dengan 2010, terdapat penambahan 38 perusahaan galangan kapal yang sebagian besar berasal dari Singapura. Dari sisi investasi asing ini adalah peluang bagi Batam untuk menggerakkan perekonomiannya. Namun lagi-lagi kawasan pesisir Batam yang di dominasi oleh ekosistem mangrove yang menjadi korbannya. Alih fungsi besar – besaran terjadi terhadap beberapa lahan di beberapa tempat di pesisir Batam, dari ekosistem mangrove menjadi kawasan industri shipyard. Kawasan tersebut dapat di lihat di lapangan di sepanjang Selat Bulang (Sekupang, Tanjungriau, Tanjunguncang, Sagulung, sampai Dapur 12).
Jika mengacu kepada RTRW Kota Batam tahun 2004 – 2014 bahwa luas Pulau Batam 3.900 km2 atau 390.000 ha, dengan komposisi daratan 1.040 km2 atau 10.400 Ha, Maka idealnya luas ekosistem mangrove di Kota Batam sebesar 24,04%. Jadi dapat di komparasikan betapa jauhnya nilai 4% dari nilai ideal tersebut. Nah, tentu nilai ini akan memberikan konsekuensi terhadap kerawanan dan kerentanan Batam terhadap bahaya abrasi dan dampak ekologis lainnya. Karena secara ekologis ekosistem mangrove lah yang menjadi benteng dan tameng dari semua organisme yang hidup di darat terhadap hempasan dan terjangan gelombang arus lautan ke daratan. Seperti yang di sampaikan oleh Bengen (2001) bahwa mangrove memiliki peran yang sangat penting.
Kerawanan ini di beberapa tempat di Batam sudah dapat di rasakan. Seperti di Batumerah, Tanjungriau, Sagulung, Tanjunguncang, dan beberapa tempat lainnya yang sudah mengalami abrasi, meskipun dengan luas yang masih sedikit. Dan jika dipantau lebih jauh, di beberapa wilayah yang berdekatan dengan sumber air baku Batam, seperti di Daerah Piayu Kota Batam, dimana ada satu DAM Duriangkang, yang di fungsikan supply air bersih bagi masyarakat untuk saat ini rentan terhadap intrusi air laut. Karena jarak bibir DAM ini sudah sangat dekat pesisir yang Mangrovenya sudah semakin tipis, sehingga daya filter mangrove terhadap intrusi air garam juga semakin berkurang. Tentunya hal ini harus di perhatikan oleh pihak pengelola air (ATB), seharusnya juga memiliki program untuk mempertahankan dan menjaga kelangsungan kualitas air. Salah satunya yaitu mempertahankan dan menjaga ekosistem mangrove yang berkontak langsung dengan DAM (bendungan) yang di kelola.
Dan permasalahan degradasi mangrove ini semakin meluas dengan dialih fungsikannya lahan mangrove seluas ± 300 Ha yang juga akan diperuntukan untuk pembangunan DAM baru di zona mangrove Tembesi Batam. Yang akan menelan biaya ± Rp. 246 Milyar, seperti yang disampaikan Kabid Perencanaan BP Kawasan, Istono dalam rapat dengar pendapat (hearing) dengan Komisi III, Dinas Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian (KP2K), camat dan lurah di kawasan yang terkena dampak proyek Dam Tembesi di DPRD Batam, Jumat (19/3 /2010). Memang kita kita sangat membutuhkan DAM baru untuk pemenuhan kebutuhan air bersih, tapi kenapa harus di zona Mangrove, yang justru akan lebih rentan terhadap intrusi.
Sebagai salah satu upaya, Universitas Riau Kepulauan bekerja sama dengan Dinas Kelautan Perikanan Peternakan dan Kehutanan (KP2K) Kota Batam dan Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedal) kota Batam, mengadakan seminar Konservasi Ekosistem mangrove dan aksi tanam bakau 14-15 Juli 2012 ini. Dengan mendatangkan nara sumber dari kantor Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Prof. Dr. Marlis Rahman, M.Sc. (Guru besar ekologi dan Konservasi Sumber Daya Alam dari Universitas Andalas Padang), Prf. Dr. Suwarno H Susanto, ( Ekolog dari Universitas Gajah Mada Jogyakarta), Gubernur Provinsi Kepri, BP Kawasan, Dinas KP2K Kota Batam dan Drs. Densi N Purnomo, Kepala Bapedal Kota Batam. Diharapkan dari kegiatan ini dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah dan segenap pihak yang peduli terhadap pemulihan kawasan pesisir di Kota Batam.