Pembicara: (1) Prof. Syed Zainol Abidin IDID, Dosen Urban Design UTM Johor, Urban Heritage Activist Asia (2) Mongkol Khan, Dosen Arsitektur Mahasarakham University (MSU) Thailand, Mahasiswa S3 UTM Johor
Penulis: Rahmat Kurniawan, Ka.Prodi. Program Arsitektur UNRIKA
FT UNRIKA, 27 Mei 2012. Dalam rangka mengisi kegiatan perkuliahan khususnya mahasiswa arsitektur, Hima (Himpunan Mahasiswa) prog. Arsitektur berinisiatif melaksanakan kuliah umum dengan mengundang pembicara dari akademisi luar negeri. Tidak hanya satu namun 2 (dua) orang sekaligus yaitu Prof. Syed Zainol Abidin IDID, seorang professor dari Universiti Teknologi Malaysia (UTM) Johor dan Mongkol Khan, seorang dosen arsitektur dari Mahasarakham University (MSU) Thailand dan kebetulan juga seorang kandidat doctor yang saat ini sedang menempuh studi di UTM.
Adapun alasan mengambil tema di atas tidak lepas dari gencarnya isu-isu dunia tentang perkembangan kota menghadapai era baru dimana para pakar percaya bahwa pada tahun 2025, 60% warga dunia akan mendiami pusat kota (Ridwan Kamil). Menurut Ridwan Kamil, seorang arsitek dan seorang aktivis social percaya bahwa, peradaban manusia ditentukan oleh kualitas kotanya. “kota yang strees akan menghasilkan orang-orang yang stress pula”, begitulah menurut beliau. Sedangkan seorang pakar perkotaan George Brugman yang juga seorang curator di 5th International Architecture Biennale Rotterdam 2012 pada kesempatan pertemuan (architecture summit) bulan Mei lalu di Rotterdam pun mengatakan bahwa 80% penduduk akan berada di pusat kota pada tahun 2050 (5th IABR 2012 catalog). Berdasarkan hal ini, dan melihat kondisi perkotaan kita saat ini bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dimasa akan datang bukan?
Prof. IDID dan Mongkol Khan (yang selanjutnya dibaca Ajjan Matt, selalunya orang Thai memiliki nama pendek dan Ajjan atau Aj diartikan sebagai guru) dalam paparanya memberikan sebuah penjelasan tentang isu-isu dan permasalahan yang saat ini sedang hangat ditinjau dari konteks urban design dan arsitektur. Jika kita membicarakan tentang arsitektur dan urban design tentunya tidak lepas dari hal-hal yang berkenaan dengan ruang dan orang (people and places), dimana keduanya saling terkait satu sama lain. Arsitektur dan urban design bukanlah melulu soal design (perancangan), tapi hal yang lebih penting adalah memberikan solusi yang terbaik terhadap permasalahan yang ada saat ini maupun masa yang akan datang.
Isu pertama yang dipaparkan adalah melihat kondisi saat ini dimana banyak kota-kota didunia saling berlomba-lomba dalam pembangunan perkotaannya. Bangunan –bangunan tinggi menjadi hal yang sangat dominan dan menjadi sebuah prestise kota, dibangun dengan berbagai bentuk, corak, warna; celakanya banyak kota-kota tersebut memiliki kemiripan yang sama. Apa yang terjadi, saat ini kita semakin sulit pula untuk mengenal kota yang satu dengan yang lainnya, yang mana Singapura-mana Hongkong, mana Dubai-mana Bahrain, mana New York-mana Minnesota, dll. Menurut beliau rasionalisasi ekonomi lah yang mendorong dominasi pembangunan “mega-scale” atau yang biasa dikenal product of design, yang sesungguhnya merusak ekosistem, ekologi perkotaan, timbulnya permasalahan social, dan bahkan secara ekonomi dalam jangka panjang. Perancangan mega-scale yang marak saat ini yang juga membentuk wajah perkotaan saat ini, sesungguhnya dirancang dengan konsep “Alien” (makhluk luar angkasa), jauh dari pertimbangan hubungan manusia maupun konteks lokal atau lokalitas. Keberadaan bangunan-bangunan alien tersebut membuat kita terasa menjadi orang asing di negerinya sendiri. Gaya hidup yang berbeda jauh dari gaya hidup lokalitas dipaksakan hadir hanya demi mengedepankan imej “produktif” (menunjukan kepada dunia bahwa ianya berada dalam era modern).
Salah dalam mempersepsikan “BIG is beautiful” (besar itu cantik) dan “the bigger the better” (lebih besar lebih baik) marak dikalangan para perancang perkotaan dan bahkan yang peliknya lagi bagi masyarakat hal ini menunjukan kewibawaan. Artinya, bangunan yang heroik dan tinggi-tinggi itu sungguh indah dan cantik, kemudian kalau bisa dibangun lebih besar biasanya lebih baik, inilah yang membawa romantisme kita saat ini. Kita tidak sadar inilah yang menjadi sumber permasalahan besar bagi kehidupan di kota-kota besar, tidak hanya di Indonesia tapi diseluruh dunia. Semakin besar bangunan semakin besar pula permasalahan yang muncul, semakin besar jalan raya semakin besar juga resikonya. Lalu seperti apa seharusnya? Tidak lain yang kita pilih seharusnya adalah “lebih baik namun tidak lebih besar”. Artinya, yang diutamakan adalah baiknya dahulu yang kemudian bisa diiringi dengan skalanya.
Kalau boleh memberikan contoh dan intrepretasi dari isu di atas, mari kita lihat efek kenaikan harga minyak bumi. Kenapa di Indonesia masyarakat kita begitu reaktif terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (bbm) ini? Karena memang sebagian masyarakat kita mengkonsumsi bbm; bisa kita rasakan dan lihat kondisi jalan raya kita saya ini. Di Jakarta saja data menunjukan setiap 1 orang memiliki 1 kendaraan bermotor (baik itu sepeda motor atau kendaraan roda 4). Maka tidak heran pulalah masyarakat kita berteriak ketika rencana kenaikan bbm ini di utarakan pemerintah. Hitung-hitungan kasarnya adalah jika 1 liter premium Rp.4.500 jika diisi di sepeda motor, ianya mampu menempuh rata-rata 40 – 50km. Sedangkan jika menggunakan kendaraan umum (bus kota) 1 kali keberangkatan (naik) rata-rata harus membayar Rp. 3000. Tanpa perlu dijelaskan lebih jauh tentunya anda sudah bisa mengira-ngira untung yang mana bukan.
Coba kita bandingkan dengan kota-kota di eropa, ketika harga minyak bumi naik toh masyarakat di sana tenang-tenang saja. Mereka tidak panik, tidak kalut dan bahkan tidak perlu berdemo. Menurut hemat saya, ternyata memang sebagian besar masyarakat eropa tidak mengkonsumsi bbm; mereka yang mengkonsumsi bbm adalah mereka yang benar-benar mampu (istilah gamblangnya “kaya”). Bisa dibayangkan harga 1 liter premium €1.8 (atau sebanding dengan Rp.23.400 dengan asumsi €1 = Rp.13.000). Tidak mengkonsumsi bbm karena terjangkaunya harga transportasi publik. Terlebih lagi banyak pilihan moda transportasi publik bagi masyarakat, jika anda pelajar anda dibebaskan biaya bahkan (kecuali hari libur). Dan baiknya adalah sebagian besar moda transportasi publik yang ada berbahan bakar listrik dan gas. Hal menarik lainnya adalah anda akan merasa nyaman jika berjalan kaki maupun bersepeda selain didukung dengan kondisi cuaca yang nyaman juga fasilitas yang ada sungguh luar biasa nyamannya.
Hal lain yang selalu dilupakan/dikesampingkan adalah keberadaan komunitas lokal/masyarakat lokal dalam pembangunan perkotaan, dalam menginisiasi sebuah pembangunan dilingkungannya. Hal ini sangatlah perlu, karena sesunguhnya yang bisa merasakan permasalahan serta kebutuhan pada sebuah lingkungan adalah masyarakat lokal itu sendiri. Perancang perkotaan, arsitek, developer, politikus keberadaannya adalah sebagai “alat” (perantara) yang mampu mewujudkan keinginan/mimpi masyarakatnya.
Dari dua isu di atas, menurut pembicara percaya atau tidak hal ini terjadi akibat adanya persaingan antara para ahli itu sendiri, perencana kota dan arsitek bersaing dengan engineering (ahli teknik: teknik sipil, jalan raya, dan berbagai ahli lainnya) sehingga munculah ketidak seimbangan perancangan perkotaan modern. Merkea saling berkompetisi menunjukan keahlian dan kemampuannya. Kalau yang menang ahli jalan raya, maka jadilah kota itu dipenuhi dengan jalan-jalan raya (karena tujuan mereka membuat pengendara senyaman mungkin dengan meniadakan sang pejalan kaki). Seharusnya, seluruh komponen di atas saling bekerjasama dan berkolaborasi dalam menentaskan permasalahan perkotaan yang ada saat ini dan yang lebih penting sebenarnya mampu mengatasi permasalahan yang akan terjadi di masa yang akan datang. “Duduk” dalam “satu meja” seharusnya bisa dilakukan oleh para pakar dalam menyelamatkan “peradaban manusia” (kualitas perkotaan) dimasa yang akan datang. Hal inilah yang perlu dan sangat perlu dilakukan sekarang ini.
Kita lupa atau bahkan mungkin kurang sensitive terhadap kualitas kota pada jaman dahulu. Liat saja kota-kota di eropa yang hingga saat ini menjadi idola bagi para pakar perkotaan dengan kualitas perkotaan yang masih terjaga hingga sekarang; seperti Venezia, Roma di Italia, Haque, Amsterdam di Belanda, Copenhagen di Denmark. Atau mungkin tidak perlu jauh-jauh, liat kota tanjung pinang ibu kota propinsi kepulauan riau, hingga saat ini pun masih terasa unik dengan skala bangunan dan jalan yang masih proporsional dengan skala manusia, budaya saling tegur sapa dan ramah terhadap sesama masih begitu kental, walaupun keberadaan bangunan-bangunan tinggi dan pelebaran-pelebaran jalan sudah mulai terlihat muncul satu persatu yang sesungguhnya juga mengancam kualitas kota tanjung pinang itu sendiri. Harusnya wajah tanjung pinang tetap menjadi tanjung pinang, bukan Batam, bukan Jakarta, atau bahkan pula bukan Singapura.
Isu berikutnya mungkin ini yang banyak terjadi, yaitu kota dirancanga dengan mengikuti tren tanpa perlu mengetahui sebab dan akibat yang akan muncul kemudian. Ibarat fashion, kalau tren nya rok mini ya semuanya ngikut-ngikut rok mini, atau lain sebagainya. Kalau tren nya minimalis, banyak yang ingin memiliki bangunan minimalis, sehingga saat ini pun istilah minimalis disalah artikan.
Seperti yang diutarakan di atas, pada hakikatnya kita harus serius dalam menghadapi suatu masalah, sehingga pemecahan masalah tersebut memang benar-benar memecahkan masalah. Sebagai contoh masalah besar di kota-kota besar kita saat ini adalah kemacetan bukan.
Pembicara kuliah umum yakin kemacetan sesungguhnya bukan tidak sebandingnya jumlah kendaraan dengan kapasitas jalan yang ada, bukan ini yang menjadi masalah yang harus dipecahkan. Namun harus dilihat secara komprehensif. Kalau kemudahan memiliki kendaraan dan kesulitan menaiki kendaraan umum terus menerus berlangsung, dengan ditambahnya terus kapasitas jalan raya (baik pelebaran maupun jalan baru) yang ada bukannya menyelesaikan masalah tapi akan terus menambah masalah. Lalu apa yang salah sebenarnya? Kita bisa lihat saat ini konsep-konsep perencanaan perkotaan yang ada memang terus mengedepankan atau mengutamakan kendaraan bermotor (machinery-need) dari pada untuk manusianya (human-needs) sendiri; hilangnya semangat ruang (genius loci), ruang dengan skala manusia (human scale), dan bahkan yang marak saat ini adalah privatisasi ruang public!; ruang publik diganti dengan mall-mall, pertokoan, industri dll.
Inilah beberapa gambaran isu-isu perkotaan yang saat ini sedang terjadi, walaupun masaih banyak lagi isu-isu penting lainnya yang belum dapat diutarakan pada kesempatan kuliah umum ini, mengingat waktu yang tersedia memang sangat terbatas.
Namun ada catatan menarik yang dapat saya tangkap dari kedua pembicara di atas yang bisa diambil, yang pertama adalah hendaknya kita janganlah menjadi pengikut (follower) tren perkotaan yang selalu menggunakan konsep zonasi-zonasi yang terpisah satu sama lain seperti di Amerika ataupun beberapa kota di Australia. Karena pada zamannya mereka sedang mencari karakter/identitas, sedangkan kita sesungguhnya telah memiliki karakter kuat perkotaan kita, lihat saja Bali dengan konsep Tri hita Karana-nya, kemudian Jogjakarta dengan jalan Malioboronya, Bandung dengan Dago nya dsb, jangan kita rusak dengan mengikuti tren mereka.
Celakanya saat ini mereka telah menyadari konsep-konsep yang mereka kembangkan dulu adalah sumber permasalahan, dan sekarang mereka sedang berusaha kembali untuk mengembalikan konsep perkotaan ala kota-kota eropa yang sangat manusiawi, sedangkan kita mengikuti dibelakangnya; yang saat ini malah tengah gencar-gencarnya membangun kota dengan bangunan-bangunan tinggi, jalan-jalan layang/tol yang sesungguhnya merupakan sumber masalah untuk kita sendiri sebagai manusia yang mendiami. Yang kedua adalah hilangnya sensivitas/perasaan yang dimiliki oleh para professional perancang urban maupun arsitek. Kita terlalu banyak mendisain hanya menggunakan akal, sehingga hasil yang ada juga masuk akal. Sedangkan sekedar masuk akal saja tidak lah cukup, tapi yang kita butuhkan adalah masuk akal dan manusiawi. Aspek manusiawi disini adalah perasaan bertanggung jawab tidak hanya sesama manusia namun juga yang paling penting adalah bertanggungjawab kepada Tuhan Y.M.E.
Bertanggungjawab kepada Tuhan, bermaksud agar setiap garis yang ditarik di atas kertas (media) sudah dilalui dengan pertimbangan akal sehat dan perasaan (heart), jika salah maka kita harus bertanggungjawab atas kesalahan tersebut kepada Tuhan. Sebagai contoh, jika seorang planner, arsitek atau apapun yang merancang sebuah jembatan penyeberangan yang karenanya menyebabkan kecelakaan, kesulitan bagi orang cacat/orang tua, atau bahkan kematian bagi penggunanya, maka bersiap-siaplah bertanggungjawab kepada Tuhan yang maha mengetahui. Untuk itu sensitiflah terhadap lingkungan dan berusahalah menjadi trend setter bukan follower, dan yang lebih penting dalam pesannya untuk mahasiswa adalah jadikanlah kreatifitas dalam penyelesaian masalah. Dengan kreatifitas pula membuat kita berbeda!
Apapun yang diutarakan diatas, penulis menyadari banyak pendapat yang mungkin timbul, namun janganlah perbedaan pendapat dijadikan masalah namun mari kita bersatu mencari solusi. Semoga bermanfaat.