Pheres Sunu Widjayengrono
Dosen Tetap Prodi Pendidikan Sejarah FKIP UNRIKA Batam
This article attempts to show the meaning of Malay in historical perspective with zeitgeist theoretical framework divided in three periods (contemporary, Islamic, and Buddhist periods). It’s study of intellectual history methodology and applies history method with using of related secondary sources. Comparative analysis and cultural approach’s applied to data interpretation so that useful for historical analysis. Each period has characteristic meaning depended on mentality situation and bias of ideas from previous period. This article assumes that each dominantly formal or governing power in each period is primary element and cause for cultural meaning and people’s acceptance of Malay definition.
Keywords: Malay, ethnic, society, cultural, identification.
Pendahuluan
Penggunaan kata atau istilah Melayu di masa kini telah dianggap sebagai suatu hal umum. Melayu dimaknai sebagai suatu identitas berkenaan dengan kelompok etnis serta identik dengan penggunaan unsur-unsur kebudayaan khas dalam wujud bahasa, kebiasaan, tradisi, dan pola hidup yang membedakan dengan suku-suku bangsa di Indonesia atau Asia Tenggara lainnya. Bahkan penggunaan makna Melayu diperluas dimana identitas Melayu tidak hanya dijadikan akar bagi identifikasi suatu komunitas sosio kultural tetapi juga hingga penamaan identifikasi geografis dan negara nasional modern. Dengan kata lain, dalam sudut pandang masyarakat masa kini, identifikasi Melayu dibatasi oleh suatu identitas dalam entitas geografis, sosial, dan kultural tertentu. Akan tetapi apakah makna sesungguhnya dan sejak kapan penggunaan kata Melayu mulai digunakan sebagai suatu identitas sosio kultural tentu menimbulkan tanda tanya besar bagi kita yang berdiam di Provinsi Kepulauan Riau dimana kata atau istilah Melayu merupakan realitas yang dijumpai dalam kehidupan keseharian. Kedudukan dan peran penting etimologi Melayu dalam pemaknaan suatu komunitas juga memiliki kesejajaran dengan proses etimologi identifikasi sosio kultural lainnya di Indonesia. Guna menjawab pertanyaan tersebut tentu harus dilakukan peninjauan historis dan kultural, serta komparasi etimologi dan identifikasi sosio kultural suku bangsa lainnya dengan fenomena dan eksplanasi diakronis.
KOMPARASI ETIMOLOGI CINA DAN SUNDA
Berbeda dengan etimologi kata Melayu yang masih samar, asal mula penggunaan dan pemaknaan kata atau istilah Cina dan Sunda telah tersedia di dalam catatan kesejarahan. Hal ini dikarenakan proses diferensiasi sosial berkenaan dengan dinamika sosio politik dan historis di kedua etnis ini masih belum lama berselang dan bahkan masih tercatat dalam sumber-sumber tertulis bangsa Eropa. Tinjauan ringkas atas asal mula identifikasi ini berguna sebagai komparasi dalam penelusuran etimologi Melayu.
Fokus komparasi pertama adalah etimologi Cina berkenaan dengan identifikasinya di antara penduduk Nusantara sehingga memunculkan pertanyaan sejak kapan penggunaan identifikasi Cina dimulai dan dikenal oleh penduduk Nusantara. Sebagaimana diketahui, hubungan perdagangan, politik, sosial, dan budaya antara bangsa-bangsa di negeri Nusantara dan bangsa-bangsa di negeri Cina telah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu, namun ada perbedaan penyebutan identifikasi atas bangsa-bangsa dari negeri Cina. Rupanya, identifikasi sosio kultural berkorelasi dengan kekuasaan politik dan hal serupa juga terjadi dalam penyebutan istilah Cina. Pada masa kekuasaan Dinasti Ming di abad ke-14 hingga 17, bangsa-bangsa dari negeri Cina yang berkunjung ke selatan, atau kawasan Asia Tenggara diidentikan dengan Orang Taibenchu. Catatan kesejarahan tradisional dari kronik kerajaan Thailand, Melayu, Melaka, Jawa, dll. memberi pembuktian atas fakta historis ini. Penyebutan identifikasi sosial melalui penggunaan dan pemaknaan kata Cina justru baru terjadi di masa Dinasti Chin (Bangsa Manchu) yang berkuasa di abad 17-20. Dengan kata lain pemaknaan istilah Orang Cina baru terjadi di abad ke-17 dalam korelasi penduduk dari Negeri Chin atau rakyat Kerajaan Chin. Meskipun konsolidasi dan legitimasi kekuasaan politik rezim Chin masih membutuhkan proses dan waktu hingga seabad kemudian, generalisasi identifikasi sosial oleh bangsa non-Cina melakukan proses simplikasi atas landasan kekuasaan rezim politik Chin. Perubahan pemaknaan terjadi di masa Revolusi Nasional Cina di awal abad ke-20 dengan mengintrodusir kepada penduduk non-Cina atas identitas Tiong Hwa. Akan tetapi upaya membangun identitas baru ini tidak mampu mencapai tujuannya. Ketika bangsa non-Cina di dunia masih terbiasa menggunakan istilah Cina sebagai identifikasi sosial bangsa-bangsa atau ras dari negeri Cina, Revolusi Merah pimpinan Mao Tse Tung di tahun 1949 mengembalikan identitas sosio kultural masyarakatnya sejajar dengan penggunaan nama negaranya yaitu People’s Republic of China atau negeri Cina. (Leo Suryadinata, 1997: 9-11) Hal inilah yang kemudian terjadi di masa kini dimana penduduk Indonesia telah umum mengidentifikasikan suatu kelompok masyarakat atau ras tertentu dengan identitas Orang Cina.
Berbeda dengan identifikasi sosial Cina, dinamika identifikasi nama Sunda memiliki kurun waktu yang relatif terbatas. Hal ini dikarenakan dinamika sosio politik di tanah Sunda dan Indonesia umumnya di periode akhir lebih didominasi oleh penjajah Belanda sehingga berimplikasi terhadap stagnasi dinamika sosio kultural dan identifikasinya. Kini, istilah Orang Sunda dikenal sebagai suatu suku bangsa sebagai penduduk ‘asli’ atau pertama yang mendiami daerah Provinsi Jawa Barat dan Banten dengan karakteristik bahasa, kebiasaan, dan tradisi berbeda dengan kelompok sosial atau suku bangsa Indonesia lainnya. Akan tetapi apakah identitas Orang Sunda merupakan hal ajeg dan tidak mengalami dinamikanya tersendiri sebagai dampak bias historisnya. Tentu saja hal ini harus ditinjau jauh ke belakang dimana identitas Sunda itu terbentuk. Serupa dengan identitas Cina, identitas Sunda juga memiliki kesejajaran dengan proses kekuasaan, dalam hal ini Kerajaan Sunda. Melemahnya kekuasaan dan kontrol Sriwijaya sejak abad ke-11 atas negeri-negeri taklukannya, menyebabkan berbagai pusat-pusat pemukiman di wilayah Jawa bagian barat mulai mengkonsolidasikan kekuatan sosio politiknya sebagai kesatuan politik atau kerajaan merdeka. Salah satunya ialah pemukiman padat penduduk di daerah hulu sungai Ciliwung, serta menamakan kerajaannya dengan bahasa suci keagamaan di masa tersebut yang berasal dari India yaitu Sunda. Dalam perjalanan sejarahnya di abad 12-16, kerajaan Sunda menjadi kerajaan terbesar dan paling berkuasa di wilayah Pulau Jawa bagian barat dengan menaklukan atau membawahi berbagai kerajaan vasal. Dengan wilayah inti Sungai Ciliwung yang bermuara di Kelapa (kini Jakarta) sebagai pusat, serta berbataskan Sungai Cisadane (kini Kota Tanggerang) di barat dan Sungai Citarum (kini Kabupaten Karawang) di timur, Kerajaan Sunda memiliki berbagai pengaruh politik baik taklukan ataupun di antara kerajaan-kerajaan besar di Jawa bagian barat, khususnya Kerajaan Galuh dimana mendominasi wilayah yang kini menjadi Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, Majalengka, dan Cirebon, serta Kerajaan Banten dimana mendominasi dataran rendah daerah Provinsi Banten kini. Generalisasi identifikasi sosial masyarakat non-Jawa Barat atas penduduk berbahasa rumpun Jawa Barat sebagai Orang Sunda memberi identitas atas penduduk negeri Sunda atau Kerajaan Sunda. (Zahorka Herwig, 2007: 28) Akan tetapi di masa lalu, identitas Sunda tidak serta merta diterima begitu saja oleh penduduk berbahasa rumpun Jawa Barat ini. Penduduk kerajaan Banten yang subordinat dan beroposisi terhadap Kerajaan Sunda terus berupaya menentang kekuasaan Kerajaan Sunda dengan mengindentifikasikan diri sebagai Orang Banten. Hal ini diduga diakibatkan oleh kisah panjang pertentangan kedua wilayah sejak masa kekuasan Tarumanegara dan Bantam di abad ke-5 sebagaimana dilaporkan dalam sumber Cina. (N. Daldjoeni, 1987: 17) Upaya Banten dalam mempertahankan eksistensi identitasnya dan melepaskan diri dari identitas Sunda kian melemah dengan dihapuskannya Kesultanan Banten di awal abad ke-19 oleh pemerintah kolonial Belanda, dan berkembangnya ilmu pengetahuan barat yang melakukan generalisasi dan kategorisasi terhadap penduduk berbahasa rumpun Jawa bagian barat dengan melekatkan nama Sunda sebagai identitas suatu suku bangsa. Kian menguatnya kedudukan generalisasi etnis Sunda dalam ilmu pengetahuan modern dan pengakuannya oleh Negara Indonesia menyebabkan pengakuan setengah hati masyarakat pesisir Banten kontemporer dengan senantiasa meletakkan unsur diferensiasi dalam kesatuan etnis Sunda. (Robert Hefner, 1997: 58–61)