BENGKONG (HK) – Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (FPPTHI) sepakat menolak Rancangan Undang-Undang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan disetujui oleh DPR RI.
Pasalnya, dalam RUU tersebut masih banyak pasal yang bersifat mendua (ambiqu) dan terindikasi mematikan fungsi komisi pemberantasan korupsi (KPK) dalam melaksanakan tugasnya.
Hal itu dikatakan Ketua Umum FPPTHI Surajiman, dalam Diskusi Panel Menyorot RUU KUHP di Batam, yang digelar Universitas Riau Kepulauan (Unrika) di Hotel Golden View, Rabu (29/1).
Surajiman mencontohkan pasal-pasal yang dinilai mendua adalah pasal 9 soal penyitaan, pasal 83 tentang penyadapan dan pasal 240 tentang pengajuan kasasi. Kemudian, terhadap putusan perkara pidana di tingkat terakhir pengadilan selain Mahkamah Agung (MA), terdakwa ataupun penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada MA kecuali putusan bebas.
“Bahkan di pasal lainnya, adanya hakim pemeriksa pendahulu, pasal 283 tersebut dijelaskan akan membatasi gerak operasional KPK karena lembaga itu akan tergantung pada hakim pendahulu,” kata Surajiman yang juga Dekan FH Universitas Hasanuddin, Makasar.
Karena itu, ia meminta DPR tidak buru mengesahkan RUU tersebut menjadi UU mengingat jabatan para anggota DPR akan habis dalam tahun ini. Berikan waktu kepada masyarakat untuk menilai.
Rencanannya, penolakan para pimpinan perguruan tinggi hukum tersebut akan menghasilkan suatu rekomendasi yang akan dikirim ke Ketua DPR RI, ketua komisi, Presiden RI dan para tokoh masyarakat pegiat anti korupsi. FPPTHI akan terus mengkiritisi dan mengawal pengesahaan KUHAP dan KUHP tersebut, bahkan akan melakukan gugatan ke MK jika ada pasal yang dinilai melanggar UUD 1945.
” Semua rekomendasi ini dibuat pertimbangan berbagai pendapat dari pakar hukum pidana dan praktis seperti Prof.DR. Muladi serta Prof.DR.Andy Hamza dan Prof.Dr.Faisal Santiago, dan akamedis lainnya, “ucapnya.
Ketua Tim Penyusunan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Muladi menuturkan, untuk penerapan hukum pidana, jangan dilakukan pembahasan peradilan pembalasan. Namun, perlu penerapan hukum pidana sesuai dengan azas kesalahan, karena yang dihukum ialah manusia.
Ia menjelaskan, hukum pidana di Indonesia selama ini merupakan warisan dari Belanda. Hal tersebut dinilai tidak sesuai lagi dengan kemajuan Indonesia saat ini.
Menurut Muladi, setidaknya ada empat pendekatan hukum pidana sejak zaman kemerdekaan antara lain, pendekatan evolusioner, melalui amandemen pasal. Dia menyontohkan, pada pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama, kemudian pendekatan semi-global, melalui pengaturan tetapi khusus di luar KUHP dengan berbagai kekhususannya termasuk pengaturan hukum pidana formilnya sekaligus.
Selain itu, kata dia, dibahas juga tentang tindak pidana korupsi, pencucian uang, terorisme, dan tentang senjata api UU Nomor 12/drt/1951. Dalam hal ini, pendekatan kompromi dengan memasukkan suatu bab baru dalam KUHP akibat ratifikasi konvensi internasional, dan pendekatan komplementer dengan mendayagunakan sanksi hukum pidana untuk mendukung sanksi hukum administratif misalnya UU Lingkungan Hidup, kehutanan, perbankan, perpajakan, fidusia dan lain sebagainya.
” Untuk itu, tidak perlu ada hukuman mati. Karena masih banyak cara lain untuk hukum pidana terhadap seseorang. Yang jelas penerapan hukum pidana harus berpegang pada asas ke Indonesiaan, “ujarnya.
Di tempat yang sama, Kepala Biro Bidang Hukum KPK Katerine Mulyana menilai masih banyak pasal-pasal yang mesti diubah. Ia juga menyebutkan, terdapat pasal 72 tentang pembebasan bersyarat yang ada didalam RUU tersebut. Juga ada pasal yang saling tumpang tindih, dimana pejabat publik yang menerima suap dihukum lebih rendah jika dibanding dengan pemberi suap tapi delik jabatannya tidak dihukum.
“Seharusnya, penerima suap lebih berat hukumannya, “pungkasnya. (byu)
Sumber : http://haluankepri.com/batam/58299-fppthi-tolak-ruu-kuhap-dan-kuhp.html